Sabtu, 26 Maret 2011

Karate

Cara Membuat Kepalan Pada Olahraga Beladiri Karate (Macam/Jenis)

Ada dua cara mengunakan kepalan :
1. terbuka
2. tertutup
dan ada enam jenis kepalan (ken)
dan ada sebelas jenis kepalan terbuka (kaisho).
Cara 1
• Membuat kepalan dimulai dari melipat jari-jari kecuali jempol hingga tiap ujung jari menyentuh rapat kepangkal jari-jari.
• Dan selanjutnya dilanjutkan mengepalkan ke empat jari-jari hingga rapat(kecuali jempol)
• Kaitkan jempol ke dua jari telunjuk.
• Dengan demikian posisi kepalan tidak ada rongga udara yang masuk ke kepalan, karena jari kelingking dan jari manis jenderung lemah maka, berilah tekanan kuat dan rapat hingga menyentuh telapak tangan.
Cara 2
• Melipat jari tengah, jari manis dan kelingking
• Kemudian jari telunjuk menekan miring di atas jari tengah.
Jenis-jenis kepalan :
1. Seiken (kepalan depan)
• Pangkal jari atau buku jari telunjuk dan jari tengah dipakai untuk memukul sasaran.
• Pergelangan tangan harus dikencangkan dan tidak menekuk, di mana punggung tangan dan pergelangan tangan membentuk garis lurus. Pemakaian yang utama adalah dalam pukulan (tsuki). Seluruh tenaga lengan harus mengalir melalui garis lurus dan dipusatkan ke buku-buku jari telunjuk dan jari tengah.
2. Kentsui (kepalan palu)
• Serangan kearah badan dilakukan dengan bagian dasar kepalan (bagian kelingking dan jari manis).
• Nama lain dari kepalan ini adalah shutsui (tangan palu)
• Dan tettsui (palu besi)
3. Uraken (pungung kepalan)
• Bagian pungung tangan terutama bagian pangkal jari telunjuk dan jari tengah di pakai untuk pukulan menyentak (uchi).
• Dengan mengunakan tenaga lentingan dari siku, sentakan dilakukan menyamping atau dalam gerakan memutar tegak lurus(vertical) dari atas kr bawah.
• Letak serangan adalah muka atau bagian samping badan lawan.
4. Ippon-ken (kepalan satu jari)
• Dengan jari tengah, jari manis dan kelingking yang dikepal kuat-kuat (sama dengan kepalan depan), sendi tengah dari jari telunjuk di tonjolkan dan ibu jari menekan kuat-kuat.
• Sasaran pukulan pada umumnya batang hidung bagian yang berada tepat dibawah hidung, dan sela tulang rusuk.
5. Nakadaka-ken (kepalan jari tengah)
• Kepalan ini serupa dengan kepalan depan, tetapi sendi tengah dari jari tengah di tonjolkan keluar.
• Telunjuk dan jari manis menekan kuat-kuat jari tengah.
• Ibu jari menekan kuat jari telunjuk.
• Sasaran ini adalah batang hidung, bagian di bawah hidung dan sela-sela rusuk.
• Kepalan ini disubut juga nakadaka ipon ken (kepalan satu ruas jari tengah)
6. Hiraken (kepala jari-jari datar)
• Jari-jari tangan tangan sampai ke ujung jari menyentuh telapak tangan dan ibu jari menompang ketat jari telunjuk.
• Sendi tengah jari-jari digunakan untuk menyerang sela di antara tulang rusuk atau bawah hidung.
Jenis-jenis tangan terbuka :
• Jari-jari yang lurus pada tangan terbuka (kaisho) yang saling menekan kuat.
• Punggung tangan dan pergelangan harus membentuk suatu garis lurus.
• Ibu jari dilipat dan diletakan pada tapak tangan dan perlu diperhatikan agar pangkal ibu jari tidak dilipak ke dalam
2. Shuto (tangan pedang)
• dengan jari-jari lurus dan terpadu ketat, sisi luar dari telapak tangan dipergunakan seperti pedang, yakni untuk menangkis maupun menyerang.
• Sasaran pelipis, urat leher dan rusuk
3. Haito (punggung pedang)
• Bentuk sama dengan tangan pedang, tetapi yang di pergunakan adalah sisi dalam tangan dengan titik pusat pada pangkal jari telunjuk.
4. Aishu (punggung tangan)
• Seluruh permukaan punggung tangan dapat digunakan untuk memukul, tetapi pada umumnya digunakan menangkis.
5. Nukite (tangan tembus (ada dua jenis nukite))
• Jari-jari tangan terpadu ketat dengan ujungnya agak dibengkokan. Dengan gerakan menusuk atau menyodok kesamping atau kearah lurus.
• Serangan dapat dilakukan ke arah rusuk, samping badan hati atau dibawah hidung.
• Hanya dengan dua jari dapat juga membuat tangan tembus (jari tembus), yaitu dengan jari tengah danjari telunjuk yaitu disebut tangan tembus jari-jari (nihon nukite)
• Pemakian khusus tangan terbuka
1. Teisho (pangkal telapak tangan)
• Bentuk ini di buat dengan menekuk penuh pergelangan tangan ke belakang.
• Berguna untuk menyapu serangan tangan lawan ke samping atau ke bawah.
• Dalamserangan ini paling tepat sasaran ke arah dagu.
2. Seiryuto (pedang naga biru)
• Dengan menukuk tangan kesamping, sis telapak tangan tangan dan pergelangan tangan membentuk suatu lekukan.
• Sehingga sisi telapak tangan (bagian di bawah kelingking) dapat juga untuk menangkis sodokan tinju ke arah dari lawan atau menyerang muka tulang selangka lawan.
3. Keito (kepala ayam)
• Tangan ditekuk keluar, ibu jari dilipat pada sendinya dan jari-jari dilengkukan.
• Bagian yang digunakan untuk memukuk adalah pangkal sampai ruas ibu jari. Dapat dipakai dengan baik terhadap tangan lawan atau pada ketiak.
4. Kakuto (kepala bangau)
• Dengan melipat tangan sejauh mungkin ke dalam, pergelangan tangan dapat di pergunakan sebagai senjata yang kuat untuk menangkis tinjuan lawan atau untuk menyentak ketiak lawan.
5. Kumade (tangan beruang)
• Jari-jari tangan dilipat sehingga ujung-ujungnya menyentuh telapak tangan.
• Ibu jari juga dilipat. Seluruh permukaan telapak tangan diarah berupa sasaran kuat pada muka.
6. Washide (tangan garuda)
• Ujung semua jari tangan di simpulkan menyerupai patok burung.
• Sasaran menyerang leher atautitik vital lainnya.
7. Ude (lengan (dari bahu ke pergelangan tangan))
• Menangkis adalah fungsi terpenting dari lengan depan. Ke empat permukaan dapat berguna adalah : bagian dalam (naiwan)
• Bagian luar (gaiwan)
• Bagian belakang (haiwan)
• Bagian muka (shuwan)
• Lengan depan disebut juga sebagai wanto (lengan pedang) dan shubo (lengan tongkat)
8. Hiji atau Empi (siku tangan)
• Pukulan kuat dengan siku dapat dapat diarahkan ke muka, dada, samping badan dsb.
• Jenis pokok setakan siku adalah :
- Sentakan siku kea rah depan (mae empi uchi)
- Sentakan siku kea rah atas (tote empi uchi)
»»  READMORE...

LATAR BELAKANG KEDATANGAN ORANG – ORANG EROPA KE DUNIA TIMUR

PERKEMBANGAN PENGARUH BARAT DAN PERUBAHAN EKONOMI, DEMOGRAFI DAN KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DI INDONESIA PADA MASA KOLONIAL

1. LATAR BELAKANG KEDATANGAN ORANG – ORANG EROPA

KE DUNIA TIMUR

1. Renaissance

Renaissance berasal dari bahasa Prancis, Renascari yaitu kelahiran kembali kebudayaan klasik dari jaman Romawi dan Yunani kuno yang meliputi kesusasteraan, seni dan ilmu pengetahuan. Gerakan ini dipelopori oleh Dante Aligheiri, Petrarca dan Boccacio.

Timbulnya gerakan ini disebabkan oleh :

1. Terjadinya pertumbuhan perdagangan di kota Venesia, Florence dan Geno (Italia)

1. Adanya puing-puing bangunan lama yang megah dan mengagumkan di kota Roma dan kota-kota lainnya

1. Perkembangan ekonomi Italia lebih maju dari Negara Eropa lainnya
2. Bangsawan Italia tidak tinggal di pedalaman tapi di kota-kota


1. Penjelajahan samudera dan Penemuan daerah baru

Awal abad ke 16 bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Negara Eropa lainnya mengadakan penjelajahan samudera karena didorong oleh factor-faktor :

a. Tahun 1453 kota Konstantinopel jatuh ke tangan Turki yang mengakibatkan harga rempah-rempah menjadi sangat mahal

1. Berkembangnya Ilmu pengetahuan tentang bumi dan ilmu astronomi dan penemuan kompas

1. Timbulnya keinginan untuk mencari keuntungan yang besar dan upaya untuk mencari daerah baru

1. Ingin menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia

1. Adanya Penemuan baru di bidang ilmu Pengetahuan

a. Johan Guttenberg menemukan mesin cetak

b. Nicolaus Copernicus menemukan matahari sebagai pusat tata surya

c. Galileo galilei menemukan teleskop

d. Marthin Luther pencetus agama kristen Protestan

1. Dominasi gereja katolik terhadap segala aspek kehidupan


1. PAHAM RASIONALISME, REVOLUSI INDUSTRI, DAN KAPITALISME SERTA PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA

1. Paham Rasionalisme

Rasionalisme adalah paham yang menganggap sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal pikiran. Tempat kelahiran rasionalisme adalah Prancis (Renne Descartes 1596-1650). Ia adalah seorang filosof,ilmuwan dan matematikus Prancis yang tersohor. Sebenarnya, rasionalisme merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis dan taradisi yang mulai tampak pada abad ke-15 dan abad ke-16.

2. Merkantilisme

Istilah Merkantilisme diambil dari kata ”Mercari” yang artinya berjual beli. Merkantilisme adalah sebuah sistem ekonomi di mana negara memiliki wewenang yang besar, atau disebut juga sebagai sistem ekonomi proteksi. Kemakmuran diperoleh dari perdagangan luar negeri.

Tujuan dari merkantilisme adalah untuk melindungi perkembangan industri perdagangan dan melindungi kekayaan negara yang ada di masing-masing negara. Negara atau pemerintah memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya untuk membiayai negara; negara atau pemerintah merupakan satu-satunya penguasa ekonomi. Cara yang digunakan dalam rangka memperkaya Negara adalah dengan penumpukan kekayaan yang berupa logam mulia yaitu emas dan perak. Negara yang banyak memiliki timbunan logam mulia dalam jumlah yang besar merupakan negeri yang kaya, dan mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kekuatannya sehingga dapat memperkuat armada perangnya.

3. Revolusi Industri

Revolusi Industri adalah perubahan radikal dalam cara pembuatan atau

memproduksi barang-barang dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemproses. Dengan digunakannya mesin-mesinmenjadikan tenaga manusia tidak terpakai lagi, sehingga terjadi peningkatan kualitas

dan kuantitas produksi barang, termasuk perubahan dalam cara kerja dan

pemasarannya.

4. Kapitalisme

Kapitalisme adalah system dan paham ekonomi yang modalnya ( penanaman modal dan kegiatan industrinya ) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta guna bersaing bebas di pasaran internasional, nasional maupun lokal. Kapitalisme merupakan respon terhadap merkantilisme yang menempatkan Negara sebagai pemilik kekayaan Negara. Kapitalisme menempatkan individu sebagai pemilik modal yang menguasai kekayaan alam.

C. MASUKNYA KOLONIALISME DAN IMPERIALISME ASING KE WILAYAH

INDONESIA : PORTUGIS, SPANYOL, VOC-BELANDA DAN INGGRIS

1. MASA KEKUASAAN VOC

Usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Bartholomeu Dias (1492) dan Vasco daGama (1498) berkebangsaan Portugis berlayar menyusuri pantai barat Benua Afrika akhirnyatiba di Kalkuta, India. Kemudian mereka membangun kantor dagang di Kalkuta dan berdagang di Asia Tenggara. Pada tahun 1512, Portugis masuk ke Maluku sedangkan Spanyol masuk ke Tidore (1521) untuk mencari rempah-rempah.

Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelis de Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah di sana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat maka diusir dari Banten. Kemudian pada tahun 1598, pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van Heemkerck datang di Banten dan diterima Sultan Banten

Abdulmufakir dengan baik. Sejak saat itulah ada hubungan perdagangan dengan pihak

Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia.

Namun, tujuan dagang tersebut kemudian berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan sewenang-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi, dan perluasan kekuasaan.

Setelah bangsa Belanda berhasil menanamkan kekuasaan perdagangan dan ekonomi di Indonesia maka pada tanggal 20 Maret 1602 Belanda membentuk kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dianjurkan oleh Johan van Olden Barnevelt yang mendapat izin dan hak istimewa dari Raja Belanda. Alasan pendirian VOC adalah adanya persaingan di antara pedagang Belandasendiri, adanya ancaman dari komisi dagang lain, seperti (EIC) Inggris, dan dapat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Untuk mendapatkan keleluasaan usaha di Indonesia, VOC memiliki hak oktroi, yaitu hak istimewa.

Di samping itu, VOC juga melakukan pelayaran Hongi, yakni misi pelayaran Belanda yang ditugasi mengawasi, menangkap, dan mengambil tindakan terhadap para pedagang dan penduduk pribumi yang dianggapnya melanggar ketentuan perdagangan Belanda. Usaha VOC semakin berkembang pesat (1623) dan berhasil menguasai rempah-

rempah di Ambon dalam peristiwa Ambon Massacre. Selanjutnya tahun 1641, VOC berhasil merebut Malaka dari tangan Portugis. VOC selalu menggunakan Batigslot Politiek (politik mencari untung, 1602 – 1799) dengan memegang monopoli Belanda di Indonesia. Selain itu, VOC menjalankan politik devide et impera, yakni sistem pemecah belah di antara rakyat Indonesia.

Perjalanan kongsi dagang VOC lama kelamaan mengalami kemunduran, bahkan

VOC runtuh pada tanggal 31 Desember 1799. Kemunduran VOC disebabkan hal-hal berikut.

a. Perang-perang yang dilakukan membutuhkan biaya yang besar padahal hasil dari bumi

Indonesia telah terkuras habis dan kekayaan Indonesia sudah telanjur terkirim ke

Negeri Belanda. VOC tidak kuat lagi membiayai perang-perang tersebut.

b.Kekayaan menyebabkan para pegawai VOC melupakan tugas, kewajiban, dan tanggung

jawab mereka terhadap pemerintah dan masyarakat.

c.Terjadinya jual beli jabatan.

d.Tumbuhnya tuan-tuan tanah partikelir.

e.Kekurangan biaya tersebut tidak dapat ditutup dengan hasil penjualan tanah saja, VOC

harus juga mencari pinjaman. Akibatnya, utang VOC semakin besar.

f.Pada akhir abad ke-18, VOC tidak mampu lagi memerangi pedagang-pedagang Eropa

lainnya (Inggris, Prancis, Jerman) yang dengan leluasa berdagang di Nusantara

sehingga monopoli VOC hancur.

Keberadaan VOC sudah tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harta milik dan

utang-utangnya diambil alih oleh pemerintah negeri Belanda. Pemerintah kemudian membentuk Komisi Nederburg untuk mengurusinya, termasuk mengurusi wilayah VOC di Indonesia (1800 – 1907).

2. MASA KEKUASAAN BELANDA (PRANCIS)

Tahun 1807 – 1811, Indonesia dikuasai oleh Republik Bataaf bentukan Napoleon Bonaparte, penguasa di Prancis (Belanda menjadi jajahan Prancis). Napoleon Bonaparte mengangkat Louis Napoleon menjadi wali negeri Belanda dan negeri Belanda diganti namanya menjadi Konikrijk Holland. Untuk mengurusi Indonesia, Napoleon mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Indonesia (1808 – 1811). Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa dari serangan Inggris sehingga pusat perhatian Daendels ditujukan kepada pertahanan dan keamanan.

Untuk memperoleh dana, Daendels menjual tanah-tanah kepada orang-orang swasta. Akibatnya, tanah-tanah partikelir mulai bermunculan di sekitar Batavia, Bogor, Indramayu, Pamanukan, Besuki, dan sebagainya. Bahkan, rumahnya sendiri di Bogor dijual kepada pemerintah, tetapi rumah itu tetap ditempatinya sebagai rumah tinggalnya. Tindakan dan kekejaman Daendels tersebut menyebabkan raja-raja Banten dan Mataram memusuhinya.

Untuk menutup utang-utang Belanda dan biaya-biaya pembaharuan tersebut, Daendels kembali menjual tanah negara beserta isinya kepada swasta, sehingga timbullah system tuan tanah di Jawa yang bertindak sebagai raja daerah, misalnya di sekitar Batavia dan Probolinggo. Kekejaman Daendels tersebut terdengar sampai ke Prancis. Akhirnya, dia dipanggil pulang karena dianggap memerintah secara autokrasi dan Indonesia.
»»  READMORE...

Narkoba

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioparasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini presepsi itu disalah gunakan akibat pemakaian yang telah di luar batas dosis.

Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para orang tua, ormas, pemerintah khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu meraja rela. Upaya pemberantas narkoba pun sudah sering dilakukan, namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan Narkoba pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi Narkoba.


  • Heroin atau diamorfin (INN) adalah sejenis opioid alkaloid.
Heroin adalah derivatif 3.6-diasetil dari morfin (karena itulah namanya adalah diasetilmorfin) dan disintesiskan darinya melalui asetilasi. Bentuk kristal putihnya umumnya adalah garam hidroklorida, diamorfin hidroklorida. Heroin dapat menyebabkan kecanduan.
  • Ganja (Cannabis sativa syn. Cannabis indica) adalah tumbuhan budidaya penghasil serat, namun lebih dikenal karena kandungan zat narkotika pada bijinya, tetrahidrokanabinol (THC, tetra-hydro-cannabinol) yang dapat membuat pemakainya mengalami euforia (rasa senang yang berkepanjangan tanpa sebab).
Ganja menjadi simbol budaya hippies yang pernah populer di Amerika Serikat. Hal ini biasanya dilambangkan dengan daun ganja yang berbentuk khas. Selain itu ganja dan opium juga didengungkan sebagai simbol perlawanan terhadap arus globalisme yang dipaksakan negara kapitalis terhadap negara berkembang. Di India, sebagian Sadhu yang menyembah dewa Shiva menggunakan produk derivatif ganja untuk melakukan ritual penyembahan dengan cara menghisap Hashish melalui pipa Chilam/Chillum, dan dengan meminum Bhang.

Di beberapa negara tumbuhan ini tergolong narkotika, walau tidak terbukti bahwa pemakainya menjadi kecanduan, berbeda dengan obat-obatan terlarang yang berdasarkan bahan kimiawi dan merusak sel-sel otak, yang sudah sangat jelas bahayanya bagi umat manusia. Di antara pengguna ganja, beragam efek yang dihasilkan, terutama euphoria (rasa gembira) yang berlebihan, serta hilangnya konsentrasi untuk berpikir di antara para pengguna tertentu.
Efek negatif secara umum adalah bila sudah menghisap maka pengguna akan menjadi malas dan otak akan lamban dalam berpikir. Namun, hal ini masih menjadi kontroversi, karena tidak sepenuhnya disepakati oleh beberapa kelompok tertentu yang mendukung medical marijuana dan marijuana pada umumnya. Selain diklaim sebagai pereda rasa sakit, dan pengobatan untuk penyakit tertentu (termasuk kanker), banyak juga pihak yang menyatakan adanya lonjakan kreatifitas dalam berfikir serta dalam berkarya (terutama pada para seniman dan musisi.
Berdasarkan penelitian terakhir, hal ini (lonjakan kreatifitas), juga di pengaruhi oleh jenis ganja yang digunakan. Salah satu jenis ganja yang dianggap membantu kreatifitas adalah hasil silangan modern "Cannabis indica" yang berasal dari India dengan "Cannabis sativa" dari Barat, dimana jenis Marijuana silangan inilah yang merupakan tipe yang tumbuh di Indonesia.
Efek yang dihasilkan juga beragam terhadap setiap individu, dimana dalam golongan tertentu ada yang merasakan efek yang membuat mereka menjadi malas, sementara ada kelompok yang menjadi aktif, terutama dalam berfikir kreatif (bukan aktif secara fisik seperti efek yang dihasilkan Methamphetamin). Marijuana, hingga detik ini, tidak pernah terbukti sebagai penyebab kematian maupun kecanduan. Bahkan, di masa lalu dianggap sebagai tanaman luar biasa, dimana hampir semua unsur yang ada padanya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Hal ini sangat bertolak belakang dan berbeda dengan efek yang dihasilkan oleh obat-obatan terlarang dan alkohol, yang menyebabkan penggunanya menjadi kecanduan hingga tersiksa secara fisik, dan bahkan berbuat kekerasan maupun penipuan (aksi kriminal) untuk mendapatkan obat-obatan kimia buatan manusia itu.
»»  READMORE...

Pemberontakan Diindonesia

PEMBERONTAKAN DI INDONESIA
1945-2009

Sesuai definisi pada bab sebelumnya, maka pemberontakan yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu 64 tahun(1945-2009) dapat dirinci sebagai berikut:
DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
Pemberontakan PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
Gerakan APRA(Angkatan Perang Ratu Adil)
PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
Pemberontakan Andi Aziz (Andi Aziz Affair)
Gerakan Republik Maluku Selatan(RMS)
Gerakan 30 September 1965 PKI
Terorisme dan peledakan bom disejumlah daerah


Pemberontakan-pemberontakan diatas terjadi dalam kurun waktu 1945-2009. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis hanya mengambil beberapa sampel pemberontakan saja dari setiap orde pemerintahan, antara lain:

Orde Lama(1945-1965)
- DI/TII(Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia)
- Pemberontakan PKI(Partai Komunis Indonesia) Madiun 1948
- PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta)
- Gerakan 30 September 1965 PKI
Orde Revormasi(1998-sekarang)
-Terorisme dan peledakan bom disejumlah daerah




A. DI/TII(DAARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA)
Salah satu pemberontakan paling besar yang pernah terjadi di tanah air adalah DI/TII(DAARUL ISLAM/TENTARA ISLAM INDONESIA). Gerakan ini dipelopori dan dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan ini bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia(NII).
Pemberontakan berawal dari Jawa Barat. Kartosuwiryo dalam maklumatnya yang dibacakan beberapa saat setelah pembacaan Proklamasi Negara Islam Indonesia7 menyatakan dengan tegas menolak konsepsi Pancasila8. Pemberontakan kemudian meluas hingga Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Para pemimpinnya, selain Kartosuwiryo(Jawa Barat), terdapat pula Amir Fattah(Jawa Tengah), Daud beureueh(Aceh), Abdul Kahhar Muzakkar(Sulawesi Selatan), dan Ibnu Hadjar(Kalimantan Selatan).

1.DI/TII JAWA BARAT
Gerakan DI/TII Jawa Barat bermula ketika ditandatanganinya persetujuan perjanjian Renville pada 17 Januari 1848. Akibat dari persetujuan itu, wilayah Indonesia yang diakui Belanda semakin sempit dan pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah-wilayah yang dikuasainya hingga terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat(RIS). Selain wilayah kedaulatan RI berkurang, tentara gerilyawan RI yang berada diluar garis demarkasi Van Mook harus ditarik mundur.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo dan pasukannya yang terdiri atas Hizbullah dan Sabilillah menolak persetujuan Renville. Ia menolak untuk memundurkan pasukannya ke Jawa Tengah dan sejak saat itu ia tidak lagi mengakui keberadaan RI. Ia memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).
Gerakan ini kemudian melakukan kekacauan di Jawa Barat. Pasukan DI/TII secara paksa menarik sumbangan dari rakyat. Namun karena rakyat saat itu sedang kesulitan ekonomi, pasukan DI/TII kemudian menjarah rumah-rumah penduduk. Untuk mengatasi serangan pemerintah RI, DI/TII menggunakan strategi grilya.
Pemerintah akhirnya melakukan kerja sama dengan penduduk setempat untuk melawan pemberontakan ini dan menunjuk Ibrahim Adjie sebagai penanggung jawab strategi, yaitu membantu ABRI dengan cara mengepung pasukan DI/TII dari segala penjuru.
Pada tanggal 1 April 1962, dilancarkan operasi Bharatayudha untuk menumpas DI/TII Kartosuwiryo. DI/TII semakin terdesak dan satu-persatu komandannya menyerahkan diri. Pada tanggal 4 Juni 1962, Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ia sempat mengajukan grasi kepada Presiden, namun ditolak.

2.DI/TII JAWA TENGAH
Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fattah di seputar wilayah Brebes-Tegal. Ia awalnya adalah orang yang loyal terhadap RI, namun seperti Kartosuwiryo, ia kemudian berbalik memberontak dan bergabung dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo pada 23 Agustus 1949. Pasukan Amir Fattah, yang kemudian diubah namanya menjadi Tentara Islam Indonesia(TII) dengan julukan Batalyon Syarif Hidayat Widjaja Kusuma.
Selain di wilayah Brebes-Tegal, dibagian selatan Jawa Tengah, Kebumen juga melakukan pemberontakan. Dipimpin oleh Muhammad Mahfudh Abdurrahman atau dikenal dengan nama Kiai Sumolangu, pemberontakan ini juga mengadakan kontak dengan DI/TII Jawa Barat Kartosuwiryo dengan tujuan yang sama pula, mendirikan Negara Islam.
Gerakan ini dilumpuhkan oleh TNI pada tahun 1954 melalui operasi Guntur.

3.DI/TII SULAWESI SELATAN
Pemberontakan DI/TII Sulawesi Selatan dipimpin oleh Abdul Kahhar Muzakkar. Latar belakang pemberontakan di Sulawesi Selatan berbeda dengan pemberontakan di daerah lain seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Pada mulanya, Abdul Kahhar Muzakkar adalah seorang komandan tentara RI Persiapan Resimen Hasanuddin di Yogyakarta dengan pangkat kolonel. Kemudian ia menggagas pembentukan Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS).
Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi(TRIPS) beserta laskar-laskar dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ini yang bergerilya di Sulawesi Selatan selama perang kemerdekaan berlangsung. Setelah perang kemerdekaan selesai, pemerintah mengeluarkan kebijakan nasionalisasi laskar-laskar. Dalam nasionalisasi ini, setiap laskar harus melalui seleksi. Namun tak semua laskar dibawah pimpinan Komando Gerilya Sulawesi Selatan memenuhi syarat. Sedangkan Abdul Kahhar menginginkan semua laskar Komando Gerilya Sulawesi Selatan masuk dalam daftar anggota APRIS. Pemerintah tetap tidak mau mengabulkan permintaan Abdul Kahhar.
Pada Agustus 1951, Abdul Kahhar melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan dan persenjataaan yang diperoleh dari pasukannya. Kemudian ia menerima tawaran Kartosuwiryo untuk memegang pimpinan TII wilayah Sulawesi Selatan. Pada 7 Agustus 1953, Abdul Kahhar resmi bergabung dengan DI/TII Jawa Barat.
Pemerintah setelah mengetahui Abdul Kahhar bergabung dengan DI/TII segera melancarkan operasi militer ke Sulawesi Selatan. Operasi ini memakan waktu lebih dari empatbelas tahun. DI/TII Sulawesi Selatan baru benar-benar tumpas pada tahun1965.
Pada Februari 1965, Abdul Kahhar Muzakkar tertembak mati dalam kontak senjata dengan pasukan RI.

4. DI/TII ACEH
Pemberontakan DI/TII Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah seorang ulama terkenal Aceh saat itu. Setelah proklamasi kemerdekaan, terjadi perbedaan pendapat antara kaum alim ulama Aceh dengan para bangsawan(uleebalaang).
Akhirnya pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan pertentangan tersebut supaya tidak terjadi perang saudara. Pemerintah kemudian membentuk Aceh sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Lalu diangkatlah Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh.
Namun dalam rangka menyederhanakan administrasi negara, Sukarno pada tahun 1950 menurunkan status Aceh sebagai wilayah karisidenan dalam Provinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh kecewa dengan keputusan ini karena selama perang kemerdekaan tidak sedikit bantuan yang diberikan rakyat Aceh untuk negara.
Maka pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Aceh menjadi bagian Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan Kartosuwiryo dan memutuskan hubungan dengan Jakarta.
Selama pergerakannya, Daud Beureueh melakukan propaganda-propaganda yang isinya menjelek-jelekkan pemerintah Jakarta kepada rakyat Aceh. Oleh karena itu, seperti di daerah-daerah lain yang melakukan pemberontakan, pemerintah pusat melancarkan operasi untuk menumpas DI/TII Aceh.
Atas inisiatif Pangdam I bukit Barisan, kolonel Jasin, diadakanlah musyawarah dengan rakyat Aceh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam musyawarah itu, dibicarakanlah permasalahan dan kesalahpahaman yang terjadi. Akhirnya tercapai kesepakatan dan pemberontakan dapat diselesaikan secara damai.
5.DI/TII KALIMANTAN SELATAN
Pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan disebabkan ketidakpuasan rakyat yang tergabung dalam Kesatuan Rakjat Jang Tertindas(KRJT) Kalimantan Selatan. KRJT yang dipimpin oleh Ibnu Hajjar pada tahun 1950 sering melakukan penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. Pada awalnya pemerintah masih memberi kesempatan kepada Ibnu Hajjar untuk menyerahkan diri secara baik-baik. Akhirnya Ibnu Hajjar menyerah.
Namun setelah merasa kuat dan banyak memiliki pengikut, Ibnu Hajjar kembali membuat kekacauan. Ia bergabung dengan Kartosuwiryo dan DI/TII. Iapun diangkat sebagai Panglima TII wilayah Kalimantan pada tahun1954.
Akhirnya TNI melakukan operasi penumpasan pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan. Pada tahun 1959 Ibnu Hajjar berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada 22 Maret 1965.

B.PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948
Pada awal Januari 1948 Kabinet Amir Syarifudin dibubarkan.Presiden Sukarno menunjuk Muhammad Hatta untuk mengatur susunan kabinet baru. Namun Muhammad Hatta menyusun kabinet tanpa memasukkan seorangpun menteri dari golongan kiri(sosialis-komunis).
Pada bulan Agustus 1948 Musso, salah seorang tokoh pendiri PKI kembali dari Moskow. Ia bermukim di Moskow sejak tahun1926. Kembalinya Musso ke Indonesia membuat kebijakan baru bagi PKI. Kebijakan ini sering disebut jalan baru Musso9. Kebijakan Musso selanjutnya adalah menentang susunan kabinet Muhammad Hatta yang menurutnya telah menjual negara kepada imperialis Belanda.
Pertentangan politik ini berubah menjadi insiden bersenjata. Front Demokrasi Rakyat(FDR) bentukan PKI semakin meningkatkan kegiatan pengacauan. Di Solo misalnya, terjadi pemberontakan antara FDR/PKI dengan lawan-lawan politiknya dan bahkan dengan TNI.
Puncaknya adalah ketika PKI mengambil alih kekuasaan di Madiun. FDR/PKI lalu memproklamasikan berdirinya Negara Sovyet Indonesia pada 18 September 1948.
Selain di Madiun, PKI juga berhasil menguasai Pati, Jawa Tengah. Di Pati PKI juga membentuk pemerintahan baru. Sementara itu Musso menyerang pemerintah dan mengatakan bahwa Sukarno-Hatta telah menjalankan politik kapitulasi kepada Inggris dan Belanda dan memprovokasikan bahwa negara tengah dijual kepada kapitalis.
Pemerintah segera mengambil tindakan untuk menumpas pemberontakan PKI dengan melancarkan Operasi Militer I yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution. Pada tanggal 30 September 1948 Madiun berhasil direbut kembali oleh TNI. Dalam operasi itu, Musso berhasil ditembak mati, sementara Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

C.PRRI/PERMESTA (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/perjuangan rakyat Semesta)
Kondisi negara antara tahun 1950-1956 yang diharapkan sebagai awal pembangunan di segala bidang ternyata tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Kehidupan politik dan demokrasi tidak efektif, kabinet tidak bertahan lama karena sering jatuh sebelum menjalankan program-programnya. Selain itu orang-orang yang mendapat jabatan ternyata tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
Akhirnya, pada akhir 1956, dengan disponsori para perwira militer daerah, dibentuklah Dewan Banteng(Sumatera Barat), Dewan Gajah(Sumatera Utara), dan dewan Garuda(Sumatera Selatan), semacam pemerintah darurat di daerah masing-masing.10
Keadaan yang jauh dari memuaskan itu menjadi pemikiran sekelompok anggota TNI. Pada saat reuni Dewan Banteng di Sumatera Barat, peserta sepakat bahwa untuk melaksanakan pembangunan, potensi daerah harus digali sebanyak-banyaknya. Hasil reuni dilaporkan ke Jakarta oleh delegasi Dewan Banteng yang terdiri dari Dahlan Djambek, A. Halim, Sodi Baharudin, dan Ali Lubis.
Sebagai kelanjutan dari keputusan reuni tersebut, Letkol Ahmad Husain, selaku ketua Dewan Banteng mengambil keputusan untuk mengambil alih pemerintah daerah Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo pada 20 Desember 1956 karena Gubernur yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno dipandang kurang berhasil dalam membangun Sumatera Tengah. Selain di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utarapun melakukan hal yang sama.
Pada tanggal 9 Januari 1958 suatu pertemuan diselenggarakan di Sungai Dareh, Sumatera Barat, yang dihadiri oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, Letnan Kolonel Ventje Sumual, Kolonel Simbolon, Kolonel Dachlan Djambek, dan Kolonel Zulkifli Lubis. Sedangkan dari pihak sipil hadir antara lain M. Natsir, Sjarif Usman, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam pertemuan tersebut membicarakan tentang pembentukan pemerintahan baru dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Hari berikutnya, pada tanggal 10 Januari 1958, Kolonel Achmad Husein berpidato didepan peserta rapat raksasa di Padang. Dalam pidatonya, Kolonel Achmad Husein memberikan ultimatum tegas kepada pemerintah pusat RI.11
Puncak pemberontakan terjadi ketika pada tanggal 15 Pebruari 1958 Achmad Husain memaklumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia(PRRI) dan mengusung Sjarifuddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Proklamasi PRRI mendapat tanggapan dari wilayah Indonesia bagian timur. Pada tanggal 17 Pebruari 1958 Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan bergabung dengan PRRI dan putus hubungan dengan RI. Pemerintah segera bertindak menyelesaikan kasus ini dengan kekuatan senjata.
Maka, lima hari kemudian pesawat-pesawat AURI mengebom Padang, pusat pemberontakan. Lalu pertempuranpun pecah di berbagai daerah di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.

OPERASI PENUMPASAN PRRI

Untuk menumpas pemberontakan PRRI di Sumatra segera disiapkan operasi gabungan yang terdiri dari unsur-unsur darat, laut, dan udara.
Pertama-tama, untuk menguasai daerah Riau, dilancarkan Operasi Tegas di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution. Pertimbangannya adalah untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing di daerah tersebut dan untuk mencegah campur tangan asing dengan dalih menyelamatkan negara dan miliknya. Kota Pekanbaru berhasil dikuasai pada tanggal 12 Maret 1958.
Untuk mengamankan daerah Sumatra Barat, dilancarkan operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Pada tanggal 17 April, Padang dapat dikuasai oleh pasukan Angkatan Perang dan pada tanggal 4 Mei menyusul kota Bukittinggi.
Sementara itu, di daerah Sumatra Utara dilancarkan operasi Saptamarga di bawah pimpinan Brigadir Jendral Djatikusumo. Untuk daerah Sumatera Selatan, dilancarkan Operasi Sadar dibawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutomo.
Pimpinan PRRI akhirnya menyerah satu per satu. Pada tanggal 29 Mei 1961 secara resmi Achmad Husein melaporkan diri dengan pasukannya, disusul oleh tokoh PRRI yang lain, baik militer maupun sipil.
Dalam usaha penumpasan pemberontakan ini, patut dicatat mereka yang berada di daerah-daerah pemberontakan, tetapi tetap setia pada pemerintah, kepada Saptamarga, dan Sumpah Prajurit, antara lain Komisaris Polisi Kaharuddin Dt. Rangkajo Basa dan Mayor Nurmathias di Sumatra barat, Letnan Kolonel Djamin Ginting, dan Letnan Kolonel Wahab Makmur di Sumatera Utara, serta Letnan Kolonel Harun Sohar di Sumatera Selatan.12

OPERASI PENUMPASAN PERMESTA

Untuk memberantas pemberontakan Permesta di Indonesia bagian timur, dilancarkan sebuah operasi gabumngan dengan nama Operasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat. Operasi ini terdiri dari beberapa bagian, yakni:

1.Operasi Saptamarga I di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soemarsono dengan daerah sasaran Sulawesi Utara bagian tengah;
2.Operasi Saptamarga II di bawah pimpina Letnan Kolonel Agus Prasmono dengan sasaran Sulawesi utara bagian selatan;
3.Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Magenda dengan daerah sasaran kepulauan sebelah utara Manado;
4.Operasi Saptamarga IV di bawah pimpinan langsung Letnan Kolonel Rukmito Hendraningrat dengan daerah sasaran Sulawesi Utara;
5.Operasi Mena I di bawah pimpinan Letnan Kolonel KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.

Sebelum Operasi pokok itu dilancarkan, di Sulawesi tengah telah bergerak kesatuan-kesatuan yang tergabung dalam operasi Insyaf yang Dikoordinasi oleh Komando Antar daerah Indonesia bagian timur (Koandait). Termasuk terdalam Operasi ini gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kesatuan-kesatuan yang setia kepada pemerintah yang dipimpin oleh Kapten Frans Karangan dan kesatuan Polisi di bawah pimpinan Inspektur Polisi Suaeb. Operasi ini berhasil menguasai kota-kota Donggala dan Parigi, sedagkan kesatuan-kesatuan yang dipimpin oleh Nani Wartabone (Pasuka Rimba) berhasil menyiapkan pancangan kaki bagi pendaratan pasukan-pasukan Operasi Spaptamarga II di Gorontalo.
Operasi-operasi militer APRI di Indonesia bagian timur menghadapi perlawanan yang lebih berat dibandingkan dengan Operasi di Sumaera karena situasi daerah yang menguntungkan pemberontak dan persenjataan mereka yang cukup kuat. Namun, akhirnya Pemerintah berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Pada pertegahan tahun 1961 sisa-sisa Permesta menyerahkan diri, memenuhi seruan Pemerintah dan keamanan dapat dipulihkan sepenuhnya.13

D. GERAKAN 30 SEPTEMBER/G30S/GESTAPU/GESTOK
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965 dini hari di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut pemerintah Orde Baru sebagai usaha Kudeta Partai Komunis Indonesia.
Karena pemberontakan ini masih kontroversial, terutama seputar siapa dalang dibalik pemberontakan ini, maka penulis hanya akan menjelaskan seputar kronologis dan korban-korban gerakan ini.
Pada tanggal 30 September 1965 tengah malam terjadi penculikan





E. TERORISME DI INDONESIA

Terorisme di Indonesia dilakukan oleh grup teror Jemaah Islamiyah yang berhubungan dengan Al Qaeda. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta diikuti dengan empat serangan besar lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002
Jemaah Islamiyah atau Jamaah Islamiah adalah sebuah organisasi militan Islam di Asia Tenggara yang berupaya mendirikan sebuah negara Islam raksasa di wilayah negara-negara Indonesia, Singapura, Malaysia, dan negara lain di Asia Tenggara. Pemerintah Amerika Serikat menganggap organisasi ini sebagai organisasi teroris, sementara di Indonesia organisasi ini telah dinyatakan sebagai "korporasi terlarang"
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri:
Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.
Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.

Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. 5 orang tewas.
Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera.
Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak.
Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.

Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
Bom restoran McDonald’s, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC)
Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004)
Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.

Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas.
Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa.
Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran.
Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.[1]

Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 7.00 WIB.[2]
»»  READMORE...

Tabel Periodik

»»  READMORE...

Reaksi Netralisasi

Konsep paling mendasar dan praktis dalam kimia asam basa tidak diragukan lagi adalah netralisasi. Fakta bahwa asam dan basa dapat saling meniadakan satu sama lain telah dikenal baik sebagai sifat dasar asam basa sebelum perkembangan kimia modern.

a. Netralisasi

Neutralisasi dapat didefinisikan sebagai reaksi antara proton (atau ion hidronium) dan ion hidroksida membentuk air. Dalam bab ini kita hanya mendiskusikan netralisasi di larutan dalam air.
H+ + OH-–> H2O (9.33)
H3O+ + OH-–> 2H2O (9.34)
Jumlah mol asam (proton) sama dengan jumlah mol basa (ion hidroksida).
Stoikiometri netralisasi
nAMAVA = nBMBVB
jumlah mol proton jumlah mol ion hidroksida
subskrip A dan B menyatakan asam dan basa, n valensi, M konsentrasi molar asam atau basa, dan V volume asam atau basa.
Dengan bantuan persamaan di atas, mungkin untuk menentukan konsentrasi basa (atau asam) yang konsentrasinya belum diketahui dengan netralisasi larutan asam (atau basa) yang konsentrasinya telah diketahui. Prosedur ini disebut dengan titrasi netralisasi.
Contoh soal
9.5 titrasi netralisasi
0,500 g NH4Cl tidak murni dipanasakan dengan NaOH berlebih menghasilkan amonia NH3 yang diserap dalam 25,0 cm3 0,200 mol dm-3 asam sulfat. Diperlukan 5,64 cm3 NaOH 0,200 mol.dm-3 untuk menetralkan asam sulfat berlebih. Hitung kemurnian NH4Cl.
Jawab
Ingat asam sulfat adalah asam diprotik. Dengan mengaasumsikan jumlah mol amonia yang dihasilkan x m mol, jumlah mol amonia dan natrium hidroksida dua kali lebih besar dari jumlah mol asam sulfat. Jadi,
x (mmol) + 0,200 (mol dm-3) x 5,64 x 10-3 (dm3)= 2 x 0,200 (mol dm-3) x 25,0 x 10-3(dm3)
x + 1,128 = 10,0
∴ x = 8,872 (mmol)
Karena massa molar amonium khlorida adalah 52,5, 8,872 mmol ekivalen dengan 0,466 g amonium khlorida.
Jadi kemurnian sampel adalah (0,466 g/0,500 g) x 100 = 93 %.

b. Garam

Setiap asam atau h=garam memiliki ion lawannya, dan reaksi asam basa melibatkan ion-ion ini. Dalam reaksi netralisasi khas seperti antara HCl dan NaOH,

HCl+NaOH–>NaCl+H2O(9.35)
asam basa garam air 
Selain air, terbentuk NaCl dari ion khlorida, ion lawan dari proton, dan ion natrium, ion lawan basa. Zat yang terbentuk dalam netralisasi semacam ini disebut dengan garam. Asalkan reaksi netralisasinya berlangsung dalam air, baik ion natrium dan ion khlorida berada secara independen sebagai ion, bukan sebagai garam NaCl. Bila air diuapkan, natrium khlorida akan tinggal. Kita cenderung percaya bahwa garam bersifat netral karena garam terbentuk dalam netralisasi. Memang NaCl bersifat netral. Namun, larutan dalam air beberapa garam kadang asam atau basa. Misalnya, natrium asetat, CH3COONa, garam yang dihasilkan dari reaksi antara asam asetat dan natrium hidroksida, bersifat asam lemah.
Sebaliknya, amonium khlorida NH4Cl, garam yang terbentuk dari asam kuat HCl dan basa lemah amonia, bersifat asam lemah. Fenomena ini disebut hidrolisis garam.
Diagram skematik hidrolisis ditunjukkan di Gambar 9.1. Di larutan dalam air, garam AB ada dalam kesetimbangan dengan sejumlah kecil H+ dan OH- yang dihasilkan dari elektrolisis air menghasilkan asam HA dan basa BOH (kesetimbangan dalam arah vertikal). Karena HA adalah asam lemah, kesetimbangan berat ke arah sisi asam, dan akibatnya [H+] menurun. Sebaliknya, BOH adalah basa kuat dan terdisosiasi sempurna, dan dengan demikian todak akan ada penurunan konsentrasi OH-. Dengan adanya disosiasi air, sejumlah H+ dan OH- yang sama akan terbentuk.
Dalam kesetimbangan vertikal di Gambar 9.1, kesetimbangan asam ke arah bawah, dan kesetimbangan basa ke arah atas. Akibatnya [OH-] larutan dalam air meningkat untuk membuat larutannya basa. Penjelasan ini juga berlaku untuk semua garam dari asam lemah dan basa kuat.

Gambar 9.1Hidrolisis garam.
Sebagai rangkuman, dalam hidrolisis garam dari asam lemah dan basa kuat, bagian anion dari garam bereaksi dengan air menghasilkan ion hidroksida.
A- + H2O –> HA + OH- (9.36)
Dengan menuliskan reaksi ini sebagai kesetimbangan, hidrolisis garam dapat diungkapkan dengan cara kuantitatif
A- + H2O HA + OH- (9.37)
Bila h adalah derajat hidrolisis yang menyatakan rasio garam yang terhidrolisis saat kesetimbangan. Tetapan kesetimbangan hidrolisis Kh adalah:
Kh = [HA][OH-]/[A-] = (csh)2/cs(1 – h) = csh2/(1 – h) (9.38)
Kh disebut tetapan hidrolisis, dan cs adalah konsentrasi awal garam. A- adalah basa konjugat dari asam lemah HA dan Kh berhubungan dengan konstanta disosiasi basanya. Akibatnya, hubungan berikut akan berlaku bila konstanta disosiasi asam HA adalah Ka: jadi,
KaKh = Kw (9.39)
Bila h â‰Âª 1, Ka ≒csh; h ≒√(Kh/cs). Maka konsentrasi [OH-] dan [H+] diberikan oleh ungkapan:
[OH-] = csh ≒√(csKw/Ka) (9.40)
[H+] = Kw/[OH-] ≒√(KwKa/cs) (9.41)
Karena terlibat asam lemah,
Ka/cs < 1,
∴ [H+] < √Kw = 10-7 (9.42)
Jadi, garam dari asam lemah bersifat basa. Dengan cara yang sama, [H+] garam asam lemah dan basa kuta dinyatakan dengan:
[H+] = csh ≒√(csKw/Kb) (9.43)
Karena melibatkan basa lemah,
cs/Kb > 1,
∴ [H+] > √Kw = 10-7 (9.44)
Jadi, garamnya bersifat asam.

c. Kurva titrasi

Dalam reaksi netralisasi asam dan basa, atau basa dengan asam, bagaimana konsentrasi [H+], atau pH, larutan bervariasi? Perhitungan [H+] dalam titrasi asam kuat dengan basa kuat atau sebaliknya basa kuat dengan asam kuat tidak sukar sama sekali. Perhitungan ini dapat dilakukan dengan membagi jumlah mol asam (atau basa) yang tinggal dengan volume larutannya.
Perhitungannya akan lebih rumit bila kombinasi asam lemah dan basa kuat, atau yang melibatkan asam kuat dan basa lemah. [H+] akan bergantung tidak hanya pada asam atau basa yang tinggal, tetapi juga hidrolisis garam yang terbentuk.
Plot [H+] atau pH vs. jumlah asam atau basa yang ditambahkan disebut kurva titrasi (Gambar 9.2). Mari kita menggambarkan kurva titrasi bila volume awal asam VA, konsentrasi asam MA, dan volume basa yang ditambahkan vB dan konsentrasinya adalah MB.

(1) TITRASI ASAM KUAT DAN BASA KUAT.

[1] sebelum titik ekivalen:
Karena disosiasi air dapat diabaikna, jumlah mol H+ sama dengan jumlah sisa asam yang tinggal
[H+] = (MAVA – MBvB)/(VA + vB) (9.45)
[2] Pada titik ekivalen:
Disosiasi air tidak dapat diabaikan di sini.
[H+] = √Kw = 10-7 (9.46)
[3] setelah titik ekivalen:
Jumlah mol basa berlebih sama dengan jumlah mol ion hidroksida. [OH-] dapat diperoleh dengan membagi jumlah mol dengan volume larutan. [OH-] yang diperoleh diubah menjadi [H+].
[OH-] = (MBvB – MAVA)/(VA + vB) (9.47)
[H+] = Kw/[OH-] = (VA + vB)Kw/(MBvB – MAVA) (9.48)
Kurvanya simetrik dekat titik ekivalen karena vB ≒ VA.
Titrasi 10 x 10-3 dm3 asam kuat misalnya HCl 0,1 mol dm-3 dengan basa kuat misalnya NaOH 0,1 mol dm-3 menghasilkan kurva titrasi khas seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 9.2(a). Pada tahap awal, perubahan pHnya lambat. Perubahan pH sangat cepat dekat titik ekivalen (vB = 10 x10-3 dm3). Dekat titik ekivalen, pH berubah beberapa satuan hanya dengan penambahan beberapa tetes basa.

Gambar 9.2 Kurva titrasi: (a) Titrasi HCl dengan NaOH. Perubahan pH yang cepat di titik ekivalen bersifat khas.
(b) Titrasi CH3COOH dengan NaOH. Perubahan pH di titik ekivalen tidak begitu cepat.

Gambar 9.3 Kurva titrasi: titrasi NH3 dengan HCl.

2. TITRASI ASAM LEMAH DENGAN BASA KUAT

Hasilnya akan berbeda bila asam lemah dititrasi dengan basa kuat. Titrasi 10 x 10-3 dm3 asam asetat 0,1 mol dm-3 dengan NaOH 0,1 mol dm-3 merupakan contoh khas (Gambar 9.2(b)).
[1] Titik awal: vB = 0. pH di tahap awal lebih besar dari di kasus sebelumnya.
[H+] = MAα (9.49)
α adalah tetapan disosiasi asam asetat.
[2] sebelum titik ekivalen: sampai titik ekivalen, perubahan pH agak lambat.
[3] pada titik ekivalen (vB = 10 x 10-3 dm3): pada titik ini hanya natrium asetat CH3COONa yang ada. [H+] dapat diperoleh dengan cara yang sama dengan pada saat kita membahas hidrolisis garam.
[4] setelah titik ekivalen. [H+] larutan ditentukan oleh konsentrasi NaOH, bukan oleh CH3COONa.
Perubahan pH yang perlahan sebelum titik ekivalen adalah akibat bekerjanya buffer (bagian 9.3 (d)). Sebelum titik ekivalen, terdapat larutan natrium asetat (garam dari asam lemah dan bas kuat) dan asam asetat (asam lemah). Karena keberadaan natrium asetat, kesetimbangan disosiasi natrium asetat
CH3COOH H+ + CH3COO- (9.50)
bergeser ke arah kiri, dan [H+] akan menurun. Sebagai pendekatan [CH3COO-] = cS [HA] ≒ c0.
cS adalah konsentrasi garam, maka
[H+]cS/ c0= Ka,
∴ [H+] = (c0/cS)Ka (9.51)
Bila asam ditambahkan pada larutan ini, kesetimbangan akan bergeser ke kiri karena terdapat banyak ion asetat maa asam yang ditambahkan akan dinetralisasi.
CH3COOH H+ + CH3COO- (9.52)
Sebaliknya, bila basa ditambahkan, asam asetat dalam larutan akan menetralkannnya. Jadi,
CH3COOH + OH- H2O + CH3COO- (9.53) Jadi [H+] hampir tidak berubah.

(3) TITRASI BASA LEMAH DENGAN ASAM KUAT

Titrasi 10 x 10-3 dm3 basa lemah misalnya larutan NH3 0,1 mol dm-3 dengan asam kuat misalnya HCl 0,1 mol dm-3 (Gambar 9.3). Dalam kasus ini, nilai pH pada kesetimbangan agak lebih kecil daripada di kasus titrasi asam kuat dengan basa kuat. Kurvanya curam, namun, perubahannya cepat di dekat titik kesetimbangan. Akibatnya titrasi masih mungkin asalkan indikator yang tepat dipilih, yakni indikator dengan rentang indikator yang sempit.

(4) TITRASI BASA LEMAH (ASAM LEMAH) DENGAN ASAM LEMAH (BASA LEMAH).

Dalam titrasi jenis ini, kurva titrasinya tidak akan curam pada titik kesetimbangan, dan perubahan pHnya lambat. Jadi tidak ada indikator yang dapat menunjukkan perubahan warna yang jelas. Hal ini berarti titrasi semacam ini tidak mungkin dilakukan.

d. Kerja bufer

Kerja bufer didefinisikan sebagai kerja yang membuat pH larutan hampir tidak berubah dengan penambahan asam atau basa. Larutan yang memiliki kerja bufer disebut larutan bufer. Sebagian besar larutan bufer terbentuk dari kombinasi garam (dari asam lemah dan basa kuat) dan aam lemahnya. Cairan tubuh organisme adalah larutan bufer, yang akan menekan perubahan pH yang cepat, yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Nilai pH larutan bufer yang terbuat dari asam lemah dan garamnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.
pH = pKa + log([garam]/[asam]) (9.54)
Tabel 9.2 memberikan beberapa larutan bufer.
Tabel 9.2 Beberapa larutan bufer.

Contoh soal 9.5 pH larutan bufer
Tiga larutan (a), (b) dan (c) mengandung 0,10 mol dm-3 asam propanoat (Ka = 1,80 x 10-5 mol dm-3) dan (a) 0,10 mol dm-3, (b) 0,20 mol dm-3 and (c) 0,50 mol dm-3 natrium propanoat. Hitung pH larutan.
Jawab
Substitusikan nilai yang tepat pada persamaan (9.54)
  1. pH = pKa + log([garam]/[asam]) = pKa + log([0,1]/[0,1]) = pKa + log1 = 4,75
  2. pH = pKa + log([0,2]/[0,1])= pKa + log 2 = 5,05
  3. pH = pKa + log([0,5]/[0,1]) = pKa + log5 = 5,45
Lihat bahwa nilai ([garam]/[asam]) berubah dari 1 ke 5, tetapi pH hanya berubah sebesar 0,7.

e. Indikator

Pigmen semacam fenolftalein dan metil merah yang digunakan sebagai indikator titrasi adalah asam lemah (disimbolkan dengan HIn) dan warnanya ditentukan oleh [H+] larutan. Jadi,
HIn H+ + In- …. (9.55)
Rasio konsentrasi indikator dan konjgatnya menentukan warna larutan diberikan sebagai:
KIn = [H+][In-]/[HIn], ∴ [In-]/[HIn] = KIn/[H+] … (9.56)
KIn adalah konstanta disosiasi indikator.
Rentang pH yang menimbulkan perubahan besar warna indikator disebut dengan interval transisi. Alasan mengapa ada sedemikian banyak indikator adalah fakta bahwa nilai pH titik ekivalen bergantung pada kombinasi asam dan basa. Kunci pemilihan indikator bergantung pada apakah perubahan warna yang besar akan terjadi di dekat titik ekivalen. Di Tabel 9.3 didaftarkan beberapa indikator penting.
Tabel 9.3 Indikator penting dan interval transisinya.
Indikatorinterval transisiperubahan warna(asam–>basa)
Biru timol1,2-2,8merah –> kuning
Metil oranye3,1-4,4merah –> kuning
Metil merah4,2-6,3merah –> kuning
bromotimol biru6,0-7,6kuning–> biru
merah kresol7,2-8,8kuning –> merah
fenolftalein8,3-10,0tak berwarna–> merah
alizarin kuning10,2-12,0kuning–> merah
Contoh soal 9.6 Titrasi netralisasi campuran, bagaimana menggunakan indikator.
25 dm3 larutan mengandung NaOH dan Na2CO3 dititrasi dengan 0,100 mol.dm-3 HCl dengan indikator fenolftalein. Warna indikator hilang ketika 30,0 dm3 HCl ditambahkan. Metil oranye kemudian ditambahkan dan titrasi dilanjutkan. 12,5 dm3 HCl diperlukan agar warna metil oranye berubah. Hitung konsentrasi NaOH dan Na2CO3 dalam larutan.
Jawab
Asam karbonat adalah asam diprotik, dan netralisasi berlangsung dalam reaksi dua tahap
CO32- + H+ –> HCO3- ;
HCO3 - + H+ –> H2O + CO2
Tahap pertama netralisasi campuran NaOH-Na2CO3 tercapai saat fenolftalein berubah warna.
Perubahan warna metil oranye menandakan akhir tahap kedua netralisasi natrium karbonat.
Jadi, jumlah NaOH-Na2CO3 adalah 0,100 mol dm-3 x 30,0 x 10-3 dm3 = 3,0 x 10-3 mol
sebagaimana dinyatakan dalam tahap pertama netralisasi. Jumlah Na2CO3 adalah 0,100 mol.dm-3 x 12,5 x 10-3 dm3 = 1,25 x 10-3 mol sebagaimana dinyatakan dalam tahap kedua netralisasi. Jumlah NaOH adalah selisih antara kedua bilangan tersebut, 1,75 x 10-3 mol. Jadi
[Na2CO3] = 1,25 x 10-3 mol/25,0 x 10-3 dm3 = 0,050 mol dm-3
[NaOH] = 1,75 x 10-3 mol/25,0 x 10-3 dm3 = 0,070 mol dm-3

Latihan

9.1 Asam basa konjugat
Tuliskan reaksi disosiasi senyawa berikut, termasuk air yang terlibat, dan tandai pasangan asam basa konjugasinya. (a) asam format HCOOH, (b) asam perkhlorat HClO4
9.1 Jawab
(a) HCOOH + H2O H3O+ + HCOO-
asam1 basa2 asam konjugat2 basa konjugat 1
(b) HClO4 + H2O H3O+ + ClO4-
asam1 basa2 asam konjugat2 basa konjugat 1
9.2 Asam basa konjugat
Tetapan disosiasi pasangan asam basa konjugat adalah Ka dan Kb. Buktikan bahwa Ka x Kb = Kw Kw adalah tetapan hasil kali ion air.
9.2 Jawab
Lihat halaman yang relevan di teks.
9.3 Asam basa Lewis
Nyatakan manakah asam dan basa Lewis dalam reaksi-reaksi berikut.
(a) Cu2+ + 4NH3 Cu(NH3)42+
(b) I- + I2 I3-
(c ) Fe2+ + 6H2O Fe(H2O)63+
9.3 Jawab
(a) Cu2+ + 4NH3 Cu(NH3)42+, Cu2+ : asam Lewis, NH3: basa Lewis.
(b) I- + I2 I3-, I- : asam Lewis, I2: basa Lewis.
(c ) Fe2+ + 6H2O Fe(H2O)63+ Fe2+: asam Lewis, H2O: basa Lewis.
9.4 Konsentrasi ion hidrogen dan pH asam kuat
Asam perkhlorat adalah asam kuat, dan disosiasinya dapat dianggap lengkap. Hitung konsentrasi ion hidrogen [H+] dan pH 5,0 mol dm-3 asam ini.
9.4 Jawab
[H+] = 5,0×10-3mol dm-3; pH = -log[H+] = 2,30
9.5 Konsentrasi ion hidrogen dan pH asam lemah
Hitung konsentrasi ion hidrogen dan pH asam asetat 0,001 mol dm-3, 0,01 mol dm-3 dan 0,1 mol dm-3. Ka asam asetat pada 25°C adalah 1,75 x 10-3 mol dm-3.
9.5 Jawab
Kira-kira [H+] = √(csKa). Maka [H+] dan pH dinyatakan sebagai berikut.
Asam asetat 0,001 mol dm-3; [H+] = 1,32 x 10-4 mol dm-3, pH = 3,91. Asam asetat 0,01 mol dm-3; [H+] = 4,18 x 10-4 mol dm-3, pH = 3,39. Asam asetat 0,1 mol dm-3; [H+] = 1,32 x 10-3 mol dm-3, pH = 2,28.
9.6 Perhitungan tetapan disosiasi
Dalam larutan 0,5 mol dm-3, disosiasi asam urat C5H4N4O3 sebesar 1,6 %. Tentukan Ka asam urat.
9.6 Jawab
1,6 x 10-2 = [C5H3N4O3-]/0,5 mol dm-3,
[C5H3N4O3-]= [H+] = 8,0 x 10-3 mol dm-3. Jadi,
Ka = (8,0 x 10-3)2/0,50 = 1,28 x 10-4 mol dm-3.
9.7 Titrasi Netralisasi
Suatu detergen mengandung amonia. 25,37 g detergen dilarutkan dalam air untuk menghasilkan 250 cm3 larutan. Diperlukan 37,3 cm3 asam sulfat 0,360 mol dm-3 ketika 25,0 cm3 larutan ini dititrasi. Hitung persen massa amonia dalam detergen.
9.7 Jawab
18,0 %.
9.8 Larutan Bufer
(1) Hitung pH bufer yang konsentrasi asam formatnya HCOOH (Ka = 1,8 x10-4 mol dm-3) 0,250 mol dm-3, dan konsentrasi natrium format HCOONa-nya 0,100 mol dm-3.
(2) Anggap 10 cm3 NaOH 6,00 x 10-3 mol dm-3 ditambahkan ke 500 cm3 larutan bufer ini. Hitung pH larutan setelah penambahan NaOH.
9.8 Jawab
(1) [H+] = 4,5 x 10-4 mol dm-3, pH = 3,35. (2) Jumlah mol HCOOH, OH- dan HCOO- sebelum dan sesudah penambahan NaOH ditunjukkan dalam tabel berikut.

m molHCOOHOH-HCOO
Sebelum1256050
sesudah650110
Perhatikan setelah penambahan volume larutan menjadi 510 cm3. 1,8 x 10-4 mol dm-3 = ([H+] x 0,216)/(0,128), [H+] = 1,06 x 10-4 mol dm-3, pH = 3,97 Perubahan pH agak kecil walaupun sejumlah cukup besar basa kuat ditambahkan.
»»  READMORE...

Larutan penyangga

Larutan penyangga, larutan dapar, atau buffer adalah larutan yang digunakan untuk mempertahankan nilai pH tertentu agar tidak banyak berubah selama reaksi kimia berlangsung. Sifat yang khas dari larutan penyangga ini adalah pH-nya hanya berubah sedikit dengan pemberian sedikit asam kuat atau basa kuat.
Larutan penyangga tersusun dari asam lemah dengan basa konjugatnya atau oleh basa lemah dengan asam konjugatnya. Reaksi di antara kedua komponen penyusun ini disebut sebagai reaksi asam-basa konjugasi.

Komponen Larutan Penyangga

Secara umum, larutan penyangga digambarkan sebagai campuran yang terdiri dari:
  1. Asam lemah (HA) dan basa konjugasinya (ion A-), campuran ini menghasilkan larutan bersifat asam.
  2. Basa lemah (B) dan asam konjugasinya (BH+), campuran ini menghasilkan larutan bersifat basa.

Komponen larutan penyangga terbagi menjadi:
1. Larutan penyangga yang bersifat asam
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah asam (pH < 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari asam lemah dan garamnya yang merupakan basa konjugasi dari asamnya. Adapun cara lainnya yaitu mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat dimana asam lemahnya dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. Pada umumnya basa kuat yang digunakan seperti natrium, kalium, barium, kalsium, dan lain-lain.
2. Larutan penyangga yang bersifat basa
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari basa lemah dan garam, yang garamnya berasal dari asam kuat. Adapun cara lainnya yaitu dengan mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat dimana basa lemahnya dicampurkan berlebih.

Cara kerja larutan penyangga

Larutan penyangga mengandung komponen asam dan basa dengan asam dan basa konjugasinya, sehingga dapat mengikatbaik ion H+ maupun ion OH-. Sehingga penambahan sedikit asam kuat atau basa kuat tidak mengubah pH-nya secara signifikan. Berikut ini cara kerja larutan penyangga:
1. Larutan penyangga asam
Adapun cara kerjanya dapat dilihat pada larutan penyangga yang mengandung CH3COOH dan CH3COO- yang mengalami kesetimbangan. Dengan proses sebagai berikut:
Pada penambahan asam Penambahan asam (H+) akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Dimana ion H+ yang ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO- membentuk molekul CH3COOH.
CH3COO-(aq) + H+(aq) → CH3COOH(aq)
Pada penambahan basa Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka ion OH- dari basa itu akan bereaksi dengan ion H+ membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan sehingga konsentrasi ion H+ dapat dipertahankan. Jadi, penambahan basa menyebabkan berkurangnya komponen asam (CH3COOH), bukan ion H+. Basa yang ditambahkan tersebut bereaksi dengan asam CH3COOH membentuk ion CH3COO- dan air.
CH3COOH(aq) + OH-(aq) → CH3COO-(aq) + H2O(l)
2. Larutan penyangga basa
Adapun cara kerjanya dapat dilihat pada larutan penyangga yang mengandung NH3 dan NH4+ yang mengalami kesetimbangan. Dengan proses sebagai berikut:
Pada penambahan asam Jika ditambahkan suatu asam, maka ion H+ dari asam akan mengikat ion OH-. Hal tersebut menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Disamping itu penambahan ini menyebabkan berkurangnya komponen basa (NH3), bukannya ion OH-. Asam yang ditambahkan bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+.
NH3 (aq) + H+(aq) → NH4+ (aq)
Pada penambahan basa Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu bereaksi dengan komponen asam (NH4+), membentuk komponen basa (NH3) dan air.
NH4+ (aq) + OH-(aq) → NH3 (aq) + H2O(l)

Perhitungan pH Larutan Penyangga

1. Larutan penyangga asam
Dapat digunakan tetapan ionisasi dalam menentukan konsentrasi ion H+ dalam suatu larutan dengan rumus berikut:
[H+] = Ka x a/g
atau
pH = p Ka - log a/g
dengan, Ka = tetapan ionisasi asam lemah
a  = jumlah mol asam lemah
              g  = jumlah mol basa konjugasi
2. Larutan penyangga basa
Dapat digunakan tetapan ionisasi dalam menentukan konsentrasi ion H+ dalam suatu larutan dengan rumus berikut:
[OH-] = Kb x b/g
atau
pH = p Kb - log b/g
dengan, Kb = tetapan ionisasi basa lemah
b  = jumlah mol basa lemah
              g  = jumlah mol asam konjugasi

Fungsi Larutan Penyangga

Adanya larutan penyangga ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari seperti pada obat-obatan, fotografi, industri kulit dan zat warna. Selain aplikasi tersebut, terdapat fungsi penerapan konsep larutan penyangga ini dalam tubuh manusia seperti pada cairan tubuh. Cairan tubuh ini bisa dalam cairan intrasel maupun cairan ekstrasel. Dimana sistem penyangga utama dalam cairan intraselnya seperti H2PO4- dan HPO42- yang dapat bereaksi dengan suatu asam dan basa. Adapun sistem penyangga tersebut, dapat menjaga pH darah yang hampir konstan yaitu sekitar 7,4. Selain itu penerapan larutan penyangga ini dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari seperti pada obat tetes mata.
»»  READMORE...

adjective phrase

Definition: A word group with an adjective as its head. This adjective may be accompanied by modifiers, determiners, and/or qualifiers.
Adjective phrases modify nouns. They may be attributive (appearing before the noun) or predicative (appearing after a linking verb), but not all adjectives can be used in both positions.
»»  READMORE...

Passive Voice

What this handout is about

This handout will help you understand what the passive voice is, why many professors and writing instructors frown upon it, and how you can revise your paper to achieve greater clarity. Some things here may surprise you. We hope this handout will help you to understand the passive voice and allow you to make more informed choices as you write.

Myths

So what is the passive voice? First, let's be clear on what the passive voice isn't. Below, we'll list some common myths about the passive voice:

1. Use of the passive voice constitutes a grammatical error.

Use of the passive voice is not a grammatical error. It's a stylistic issue that pertains to clarity—that is, there are times when using the passive voice can prevent a reader from understanding what you mean.

2. Any use of "to be" (in any form) constitutes the passive voice.

The passive voice entails more than just using a being verb. Using "to be" can weaken the impact of your writing, but it is occasionally necessary and does not by itself constitute the passive voice.

3. The passive voice always avoids the first person; if something is in first person ("I" or "we") it's also in the active voice.

On the contrary, you can very easily use the passive voice in the first person. Here's an example: "I was hit by the dodgeball."

4. You should never use the passive voice.

While the passive voice can weaken the clarity of your writing, there are times when the passive voice is OK and even preferable.

5. I can rely on my grammar checker to catch the passive voice.

See Myth #1. Since the passive voice isn't a grammar error, it's not always caught. Typically, grammar checkers catch only a fraction of passive voice usage.
Do any of these misunderstandings sound familiar? If so, you're not alone. That's why we wrote this handout. It discusses how to recognize the passive voice, when you should avoid it, and when it's OK.

Defining the passive voice

A passive construction occurs when you make the object of an action into the subject of a sentence. That is, whoever or whatever is performing the action is not the grammatical subject of the sentence. Take a look at this passive rephrasing of a familiar joke:
Why was the road crossed by the chicken?
Who is doing the action in this sentence? The chicken is the one doing the action in this sentence, but the chicken is not in the spot where you would expect the grammatical subject to be. Instead, the road is the grammatical subject. The more familiar phrasing (why did the chicken cross the road?) puts the actor in the subject position, the position of doing something—the chicken (the actor/doer) crosses the road (the object). We use active verbs to represent that "doing," whether it be crossing roads, proposing ideas, making arguments, or invading houses (more on that shortly).
Once you know what to look for, passive constructions are easy to spot. Look for a form of "to be" (is, are, am , was, were, has been, have been, had been, will be, will have been, being) followed by a past participle. (The past participle is a form of the verb that typically, but not always, ends in "-ed." Some exceptions to the "-ed" rule are words like "paid" (not "payed") and "driven." (not "drived"). Here's a sure-fire formula for identifying the passive voice:
form of "to be" + past participle = passive voice
For example:
The metropolis has been scorched by the dragon's fiery breath.
When her house was invaded, Penelope had to think of ways to delay her remarriage.
Not every sentence that contains a form of "have" or "be" is passive! Forms of the word "have" can do several different things in English. For example, in the sentence "John has to study all afternoon," "has" is not part of a past-tense verb. It's a modal verb, like "must," "can," or "may"—these verbs tell how necessary it is to do something (compare "I have to study" versus "I may study"). And forms of "be" are not always passive, either—"be" can be the main verb of a sentence that describes a state of being, rather than an action. For example, the sentence "John is a good student" is not passive; "is" is simply describing John's state of being. The moral of the story: don't assume that any time you see a form of "have" and a form of "to be" together, you are looking at a passive sentence.
Need more help deciding whether a sentence is passive? Ask yourself whether there is an action going on in the sentence. If so, what is at the front of the sentence? Is it the person or thing that does the action? Or is it the person or thing that has the action done to it? In a passive sentence, the object of the action will be in the subject position at the front of the sentence. As discussed above, the sentence will also contain a form of be and a past participle. If the subject appears at all, it will usually be at the end of the sentence, often in a phrase that starts with "by." Take a look at this example:
The fish was caught by the seagull.
If we ask ourselves whether there's an action, the answer is yes: a fish is being caught. If we ask what's at the front of the sentece, the actor or the object of the action, it's the object: the fish, unfortunately for it, got caught, and there it is at the front of the sentence. The thing that did the catching—the seagull—is at the end, after "by." There's a form of be (was) and a past participle (caught). This sentence is passive.Let's briefly look at how to change passive constructions into active ones. You can usually just switch the word order, making the actor and subject one by putting the actor up front:
The metropolis has been scorched by the dragon's fiery breath.
becomes
The dragon scorched the metropolis with his fiery breath.
When her house was invaded, Penelope had to think of ways to delay her remarriage.
becomes
After suitors invaded her house, Penelope had to think of ways to delay her remarriage.

To repeat, the key to identifying the passive voice is to look for both a form of "to be" and a past participle, which usually, but not always, ends in "-ed."

Clarity and meaning

The primary reason why your instructors frown on the passive voice is that they often have to guess what you mean. Sometimes, the confusion is minor. Let's look again at that sentence from a student's paper on Homer's The Odyssey:
When her house was invaded, Penelope had to think of ways to delay her remarriage.
Like many passive constructions, this sentence lacks explicit reference to the actor—it doesn't tell the reader who or what invaded Penelope's house. The active voice clarifies things:
After suitors invaded Penelope's house, she had to think of ways to fend them off.
Thus many instructors—the readers making sense of your writing—prefer that you use the active voice. They want you to specify who or what is doing the action. Compare the following two examples from an anthropology paper on a Laotian village to see if you agree.
(passive) A new system of drug control laws was set up. (By whom?)
(active) The Lao People's Revolutionary Party set up a new system of drug control laws.

Here's another example, from the same paper, that illustrates the lack of precision that can accompany the passive voice:
Gender training was conducted in six villages, thus affecting social relationships.
And a few pages later:
Plus, marketing links were being established.
In both paragraphs, the writer never specifies the actors for those two actions (Who did the gender training? Who established marketing links?). Thus the reader has trouble appreciating the dynamics of these social interactions, which depend upon the actors conducting and establishing these things.
The following example, once again from that paper on The Odyssey, typifies another instance where an instructor might desire more precision and clarity:
Although Penelope shares heroic characteristics with her husband, Odysseus, she
is not considered a hero.


Who does not consider Penelope a hero? It's difficult to tell, but the rest of that paragraph suggests that the student does not consider Penelope a hero (the topic of the paper). The reader might also conceivably think that the student is referring to critics, scholars, or modern readers of The Odyssey. One might argue that the meaning comes through here—the problem is merely stylistic. Yet style affects how your reader understands your argument and content. Awkward or unclear style prevents your reader from appreciating the ideas that are so clear to you when you write. Thus knowing how your reader might react enables you to make more effective choices when you revise. So after you identify instances of the passive, you should consider whether your use of the passive inhibits clear understanding of what you mean.

Summarizing history or literary plots with the passive voice: don't be a lazy thinker or writer!

With the previous section in mind, you should also know that some instructors proclaim that the passive voice signals sloppy, lazy thinking. These instructors argue that writers who overuse the passive voice have not fully thought through what they are discussing and that this makes for imprecise arguments. Consider these sentences from papers on American history:
The working class was marginalized.
African Americans were discriminated against.
Women were not treated as equals.


Such sentences lack the precision and connection to context and causes that mark rigorous thinking. The reader learns little about the systems, conditions, human decisions, and contradictions that produced these groups' experiences of oppression. And so the reader—the instructor—questions the writer's understanding of these things.
It is especially important to be sure that your thesis statement is clear and precise, so think twice before using the passive voice in your thesis.
In papers where you discuss the work of an author—e.g., a historian or writer of literature—you can also strengthen your writing by not relying on the passive as a crutch when summarizing plots or arguments. Instead of writing
It is argued that…
or Tom and Huck are portrayed as…
or And then the link between X and Y is made, showing that…
you can heighten the level of your analysis by explicitly connecting an author with these statements:
Anderson argues that…
Twain portrays Tom and Huck as…
Ishiguro draws a link between X and Y to show that…


By avoiding passive constructions in these situations, you can demonstrate a more thorough understanding of the material you discuss.

Scientific writing

All this advice works for papers in the humanities, you might note—but what about technical or scientific papers, including lab reports? Many instructors recommend or even require the passive voice in such writing. The rationale for using the passive voice in scientific writing is that it achieves "an objective tone"—for example, by avoiding the first person. To consider scientific writing, let's break it up into two main types: lab reports and writing about a scientific topic or literature.
Lab reports
Although more and more scientific journals accept or even prefer first-person active voice (e.g., "then we sequenced the human genome"), some of your instructors may want you to remove yourself from your lab report by using the passive voice (e.g., "then the human genome was sequenced" rather than "then we sequenced the human genome"). Such advice particularly applies to the section on Materials and Methods, where a procedure "is followed." (For a fuller discussion on writing lab reports, see our handout on writing lab reports.)

While you might employ the passive voice to retain objectivity, you can still use active constructions in some instances and retain your objective stance. Thus it's useful to keep in mind the sort of active verbs you might use in lab reports. Examples include: support, indicate, suggest, correspond, challenge, yield, show.
Thus instead of writing
A number of things are indicated by these results.
you could write
These results indicate a number of things.
or Further analysis showed/suggested/yielded…

Ultimately, you should find out your instructor's preference regarding your use of the passive in lab reports.
Writing about scientific topics
In some assignments, rather than reporting the results of your own scientific work, you will be writing about the work of other scientists. Such assignments might include literature reviews and research reports on scientific topics. You have two main possible tasks in these assignments: reporting what other people have done (their research or experiments) or indicating general scientific knowledge (the body of knowledge coming out of others' research). Often the two go together. In both instances, you can easily use active constructions even though you might be tempted by the passive—especially if you're used to writing your own lab reports in the passive.
You decide: Which of these two examples is clearer?
Heart disease is considered the leading cause of death in the United States. (passive)
or Research points to heart disease as the leading cause of death in the United States.(active)
Alternatively, you could write this sentence with human actors:
Researchers have concluded that heart disease is the leading cause of death in the United States.
The last two sentences illustrate a relationship that the first one lacks. The first example does not tell who or what leads us to accept this conclusion about heart disease.
Here's one last example from a report that describes angioplasty. Which sounds better to you?
The balloon is positioned in an area of blockage and is inflated.
or The surgeon positions the balloon in an area of blockage and inflates it.

You can improve your scientific writing by relying less on the passive. The advice we've given for papers on history or literature equally applies to papers in more "scientific" courses. No matter what field you're writing in, when you use the passive voice, you risk conveying to your reader a sense of uncertainty and imprecision regarding your writing and thinking. The key is to know when your instructor wants you to use the passive voice. For a more general discussion of writing in the sciences, see our handout.

"Swindles and perversions"

Before we discuss a few instances when the passive might be preferable, we should mention one of the more political uses of the passive: to hide blame or obscure responsibility. You wouldn't do this, but you can learn how to become a critic of those who exhibit what George Orwell included among the "swindles and perversions" of writing. For example:
Mistakes were made.
The Exxon Company accepts that a few gallons might have been spilled.
By becoming critically aware of how others use language to shape clarity and meaning, you can learn how better to revise your own work. Keep Orwell's swindles and perversions in mind as you read other writers. Because it's easy to leave the actor out of passive sentences, some people use the passive voice to avoid mentioning who is responsible for certain actions.

So when is it OK to use the passive?

Sometimes the passive voice is the best choice. Here are a few instances when the passive voice is quite useful:
1. To emphasize an object.Take a look at this example:
100 votes are required to pass the bill.
This passive sentence emphasizes the number of votes required. An active version of the sentence ("The bill requires 100 votes to pass") would put the emphasis on the bill, which may be less dramatic.
2. To de-emphasize an unknown subject/actor. Consider this example:
Over 120 different contaminants have been dumped into the river.
If you don't know who the actor is—in this case, if you don't actually know who dumped all of those contaminants in the river—then you may need to write in the passive. But remember, if you do know the actor, and if the clarity and meaning of your writing would benefit from indicating him/her/it/them, then use an active construction. Yet consider the third case.
3. If your readers don't need to know who's responsible for the action.
Here's where your choice can be difficult; some instances are less clear than others. Try to put yourself in your reader's position to anticipate how he/she will react to the way you have phrased your thoughts. Here are two examples:
Baby Sophia was delivered at 3:30 a.m. yesterday.(passive)
andDr. Susan Jones delivered baby Sophia at 3:30 a.m. yesterday.(active)
The first sentence might be more appropriate in a birth announcement sent to family and friends—they are not likely to know Dr. Jones and are much more interested in the "object"(the baby) than in the actor (the doctor). A hospital report of yesterday's events might be more likely to focus on Dr. Jones' role.

Summary of strategies

Identify
  • Look for the passive voice: "to be" + a past participle (usually, but not always, ending in "-ed")
  • If you don't see both components, move on.
  • Does the sentence describe an action? If so, where is the actor? Is he/she/it in the grammatical subject position (at the front of the sentence) or in the object position (at the end of the sentence, or missing entirely)?
  • Does the sentence end with "by..."? Many passive sentences include the actor at the end of the sentence in a "by" phrase, like "The ball was hit by the player" or "The shoe was chewed up by the dog." "By" by itself isn't a conclusive sign of the passive voice, but it can prompt you to take a closer look.
Evaluate
  • Is the doer/actor indicated? Should you indicate him/her/it?
  • Does it really matter who's responsible for the action?
  • Would your reader ask you to clarify a sentence because of an issue related to your use of the passive?
  • Do you use a passive construction in your thesis statement?
  • Do you use the passive as a crutch in summarizing a plot or history, or in describing something?
  • Do you want to emphasize the object?
Revise
  • If you decide that your sentence would be clearer in the active voice, switch the sentence around to make the subject and actor one. Put the actor (the one doing the action of the sentence) in front of the verb.

Towards active thinking and writing

We encourage you to keep these tips in mind as you revise. While you may be able to employ this advice as you write your first draft, that's not necessarily always possible. In writing, clarity often comes when you revise, not on your first try. Don't worry about the passive if that stress inhibits you in getting your ideas down on paper. But do look for it when you revise. Actively make choices about its proper place in your writing. There is nothing grammatically or otherwise "wrong" about using the passive voice. The key is to recognize when you should, when you shouldn't, and when your instructor just doesn't want you to. These choices are yours. We hope this handout helps you to make them.

Works consulted and suggested reading

We consulted these works while writing the original version of this handout. This is not a comprehensive list of resources on the handout's topic, and we encourage you to do your own research to find the latest publications on this topic. Please do not use this list as a model for the format of your own reference list, as it may not match the citation style you are using. For guidance on formatting citations, please see the UNC Libraries citation tutorial.
Anson, Chris M. and Robert A. Schwegler. The Longman Handbook for Writers and Readers. Second edition. (2000). Pages 118-120; 270-272; 262-64; 369-71; 448.
Baron, Dennis. "The Passive Voice Can Be Your Friend," Declining Grammar and Other Essays On the English Vocabulary (Urbana: NCTE, 1989), pages 17-22.
Hjortshoj, Keith. The Transition to College Writing. (2001). Pages 119-121.
Lanham, Richard. Revising Prose. Fourth edition. (2000).
Orwell, George. Politics and the English Language. (1946).
Rosen, Leonard J. and Laurence Behrens. The Allyn & Bacon Handbook. Third edition. (1997). Pages 240-243; 326-327; 340-344.
Strunk and White. The Elements of Style. Third edition. (1979). Pages 18-19.
Trimble, John R. Writing with Style. Upper Saddle River, N.J. : Prentice Hall. (2000). Pages 55-58.
Williams, Joseph. Style: Ten Lessons in Clarity and Grace. Sixth edition. (2000). Chapter 3 and pages 70ff.
»»  READMORE...